Sabtu pagi itu, embun masih belum sepenuhnya menguap dari dedaunan di Desa Tomo, Sumedang. Namun suara-suara langkah kaki dan deru mesin buldoser dan beko telah lebih dulu membangunkan kampung. Di sepanjang Jalan Raden Ali sadikin, yang selama ini dikenal sebagai “jalur sampah liar”, Puluhan warga bersemangat mewujudkan desa yang bersih, sehat, dan nyaman.
Gerakan itu dinamai. Diprakarsai langsung oleh Kepala Desa Tomo, Ooy Suharyo Djoemhari, kegiatan ini menjadi awal dari babak baru dalam kesadaran lingkungan warga. “Kami ingin menciptakan Desa Tomo yang bersih dan asri. Tapi ini harus dimulai dari kesadaran bersama, bukan sekadar seremonial,” ujarnya melalui sambungan telepon WhatsApp setelah kegiatan.
![]() |
Foto Istimewa Kepala Desa Tomo |
Tidak hanya tenaga manusia yang dikerahkan. Dua alat berat, buldoser dan Beko, ikut beroperasi. Mereka membantu mengangkut tumpukan sampah yang tak mungkin diatasi dengan sekop biasa. Tumpukan itu ada yang setinggi dada orang dewasa—hasil akumulasi sampah rumah tangga dan limbah yang tidak diurus dengan benar. Yang ironis, menurut Kepala Desa, sebagian besar sampah itu berasal dari luar desa.
“Warga kami sudah cukup sadar. Tapi sampah yang menumpuk ini, justru kebanyakan kiriman dari luar. Ini yang menyulitkan,” ungkapnya.
Karena itulah, kegiatan ini tidak hanya berhenti di aksi bersih-bersih. Pemerintah desa juga mulai menggagas solusi jangka panjang. Salah satunya adalah membentuk kepengurusan baru untuk pengelolaan sampah. TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle) lama yang sempat ditolak warga akan digantikan dengan sistem baru yang lebih partisipatif dan ramah lingkungan.
Di sisi lain, warga diajak lebih peduli dan proaktif. Sosialisasi tentang pemilahan sampah dari rumah tangga digencarkan. Papan larangan membuang sampah sembarangan akan segera dipasang di titik-titik rawan. Bahkan, Pemdes merencanakan kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLHK) Kabupaten Sumedang untuk mengkaji kemungkinan pengelolaan terpadu berbasis komunitas.
“Kalau kita kelola dengan baik, sampah itu bisa jadi berkah. Tapi kalau dibiarkan, bisa jadi sumber penyakit,” ucap Ooy, serius tapi tetap bersahaja.
Tak ketinggalan, kehadiran Babinsa pada hari itu memberi dorongan moral bagi warga. Kolaborasi antara pemerintah desa, aparat keamanan, dan masyarakat terlihat nyata. Momen ini menjadi cermin bagaimana sinergi bisa menciptakan perubahan. Semangat gotong royong yang dulu sempat memudar, kini hidup kembali lewat misi yang sederhana: membersihkan desa.
Di balik semua gerakan ini, ada satu cita-cita besar yang ingin dicapai: membangun budaya peduli lingkungan yang tidak hanya bertahan sehari dua hari, tapi berkelanjutan untuk generasi mendatang.
akhir, ini baru awal,” tegas Pak Kades. Ia tahu bahwa merawat lingkungan bukan pekerjaan satu hari. Tapi dengan langkah pertama yang telah diambil bersama, harapan baru sedang tumbuh—pelan, tapi pasti.
Dan mungkin, suatu hari nanti, Jalan Raden Alisadikin tak lagi dikenal sebagai jalur sampah liar, tapi sebagai simbol keberhasilan Desa Tomo dalam menjaga lingkungannya.