Klaten, jurnalisme.info -
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama ( FKUB ) Kabupaten Klaten KH Syamsuddin Asyrofi mengatakan bahwa nilai-nilai universal agama dalam bingkai paradigma nasional, motto Bhineka Tunggal Ika harus mengkristal ke semua umat beragama, sehingga menjadi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Norma kebersamaan (shared norm) dalam realitas keragaman menjadi landasan utama bagi terbangunnya kerukunan sosial yang tulus dan permanen. Upaya memahami agama orang lain merupakan hal paling mendasar yang harus ada dalam relasi kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Hal itu disampaikan Syamsuddin Asyrofi saat menjadi nara sumber pada Seminar Kebhinekaan yang mengambil tema Keberagaman Sebagai Kekuatan Bangsa yang di inisiasi oleh Acarya Media Nusantara dengan BEM-Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri ( STAHN ) Jawa Dwipa Klaten Jawa Tengah, Kamis ( 05/12/2024 ), sementara Narasumber lainnya dalam seminar ini adalah Nur Raifai Ketua DPD KNPI Kabupaten Klaten dan Gede Agus Siswadi, M.Pd.M.Phil. seorang akademisi dari STAHN Jawa Dwipa Klaten.
Dikatakan bahwa saling bekerjasama antar penganut dan kelompok agama merupakan puncak dari sikap saling mengakui dan saling menghormati antar pemeluk agama.
"Keharmonisan kehidupan umat beragama yang sejati akan terlihat dari adanya kesamaan keprihatinan (concern) dan kepentingan yang terwujud dalam tujuan serta aktivitas kolektif yang bermanfaat bagi kehidupan bersama" katanya.
Dikatakan pada hakikatnya semua agama mengajarkan perdamaian (peace), dan tidak membenarkan kekerasan. Namun demikian, realitasnya tidak sedikit terjadi aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
"Salah satu alasan mengapa agama begitu mudah dilekatkan dengan kekerasan, barangkali karena setiap agama memiliki klaim kebenaran dan misi untuk menegakkan kebenaran tersebut. Sementara itu, banyak penganut agama yang masih salah memahami perdamaian dan nirkekerasan sebagai kompromi dan kepasifan yang berlawanan dengan misi tersebut." terangnya.
Damai dan konflik menurut Syamsuddin adalah dua sisi mata uang yang saling berkaitan, terjadinya suasana damai hari ini belum tentu menghapuskan secara radikal benih konflik, karena konflik dapat muncul kembali ke permukaan yang disebabkan faktor internal maupun eksternal.
"Agama memang dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua, di satu sisi ia dapat menjadi perekat dan pemersatu bagi umat, namun di sisi lain ia juga dapat menjadi pemicu konflik di masyarakat, hal ini tergantung cara memahaminya. Faktanya, konflik umat beragama seringkali disebabkan oleh adanya perbedaan agama yang tidak disikapi dengan rasa tasamuh (toleransi) dari masing-masing penganut agama" kata Syamsuddin Asyrofi.
Di jelaskan bahwa masing-masing pemeluk agama merasa menjadi pemegang kebenaran yang berimplikasi bahwa orang lain dianggap salah. Seharusnya, meyakini suatu agama sebagai “kebenaran absolut” tetapi tidak harus dijadikan legitimasi untuk menyalahkan orang lain.
"Prasyarat untuk menuju terwujudnya perdamaian harus didasarkan pada adanya komunikasi yang berlangsung secara jujur dan terbuka, sehingga diketahui kesulitan dari masing-masing pihak" urainya.
Dialog menurut Syamsuddin adalah upaya menjembatani benturan, namun dialog tidak hanya berhenti dalam tataran perbincangan atau wacana semata. Karena itu, perlu tindakan nyata sebagai manifestasi dari pencarian resolusi atas sebuah konflik.
"Dalam pemetaan konsep segitiga konflik dan perbedaan antara kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan budaya, serta memperkenalkan antara perdamaian negatif dan perdamaian positif lebih menekankan pada proses jangka panjang, penelusuran dan penyelesaian akar konflik, mengubah asumsi-asumsi yang kontradiktif, serta memperkuat elemen yang dapat menghubungkan pihak-pihak yang bertikai dalam suatu formasi baru demi mencapai perdamaian positif" ujarnya.
Mencegah atau menyelesaikan konflik serta menciptakan situasi damai melalui transformasi kultur kekerasan menjadi kultur damai, meskipun secara ideal normatif tidak ada agama yang mengajarkan konflik dan permusuhan, tetapi secara faktual-historis sikap intoleran, primordialisme, dan radikalisme menjadi bagian dari penyebab atau sumber konflik.
" Itulah sebabnya FKUB Kabupaten Klaten berinisiatif untuk membentuk Paguyuban Kerukunan Umat Beragama sampai di Desa-Desa/ Kelurahan se Kabupaten Klaten dimaksudkan meniadakan konflik sekecil apapun sehingga akan terwujud masyarakat Klaten yang maju, mandiri dan sejahtera dapat terwujud," jelas Much Isnaeni ( 05/12/2024) Humas FKUB Klaten.
Disinilah letak salah satu urgensi mengapa pengarusutamaan (mainstreaming) budaya damai perlu dilakukan bagi semua pihak terkait, para tokoh agama berperan untuk mengartikulasikan pemahaman keagamaan yang moderat dan sejuk, serta mendorong lahirnya sikap masyarakat pemeluk agama yang saling menghormati terhadap pemeluk agama lain.
( Pitut Saputra )