Jurnalisme.info - Pengaturan yang jelas mengenai larangan pernikahan sesama jenis dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sangat penting untuk dihadirkan demi menjaga kejelasan norma hukum dan konsistensi dengan nilai-nilai sosial, budaya, serta agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Saat ini, meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) secara implisit menunjukkan bahwa perkawinan hanya dapat dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita,” undang-undang tersebut belum secara eksplisit mengatur tentang larangan pernikahan sesama jenis.
Kurangnya aturan yang tegas dalam undang-undang ini menimbulkan celah hukum yang dapat menimbulkan perdebatan di masa mendatang, terutama di tengah perubahan sosial dan globalisasi yang memperluas wacana mengenai pernikahan sesama jenis.
Dalam konteks hukum Indonesia, penegasan larangan pernikahan sesama jenis juga memiliki dasar ideologis yang kuat.
Negara Indonesia berdasar pada Pancasila, yang dalam sila pertama menyebutkan "Ketuhanan Yang Maha Esa," dan nilai-nilai agama memainkan peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam semua agama yang diakui di Indonesia, pernikahan sesama jenis tidak diakui dan dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, pengaturan tegas mengenai larangan tersebut dalam Undang-Undang Perkawinan diperlukan untuk mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh mayoritas masyarakat Indonesia, sekaligus menjaga norma-norma agama yang dijunjung tinggi dalam sistem hukum nasional.
Dari perspektif hak asasi manusia (HAM), meskipun prinsip non-diskriminasi diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun," hak-hak individu dalam konteks pernikahan di Indonesia tetap harus dipahami dalam kerangka kebudayaan, agama, dan nilai sosial setempat.
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 memberikan penekanan bahwa "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah." Makna perkawinan yang sah ini merujuk pada bentuk perkawinan yang diakui oleh norma hukum nasional, yang berdasarkan pada perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, sebagaimana dijelaskan dalam UU Perkawinan. Pengakuan dan pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, dengan demikian, tetap harus diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pentingnya aturan eksplisit mengenai larangan pernikahan sesama jenis juga sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap sistem hukum nasional yang otonom, meskipun Indonesia merupakan bagian dari komunitas internasional yang menghormati HAM. Indonesia belum meratifikasi instrumen internasional yang mewajibkan pengakuan terhadap pernikahan sesama jenis, seperti yang diterapkan di beberapa negara lain. Oleh karena itu, negara memiliki kedaulatan untuk mengatur sistem perkawinan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakatnya, selama hal ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar HAM yang dijamin oleh konstitusi, seperti kebebasan beragama, hak atas privasi, dan perlindungan dari tindakan diskriminatif dalam hal-hal yang tidak melibatkan institusi perkawinan.
Pada akhirnya, pengaturan yang lebih tegas mengenai larangan pernikahan sesama jenis dalam Undang-Undang Perkawinan bertujuan untuk menghindari ambiguitas hukum yang mungkin muncul di kemudian hari. Di tengah perubahan sosial yang cepat dan globalisasi, negara perlu menjaga keseimbangan antara menghormati hak asasi manusia dan melindungi tatanan sosial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya.
Dengan adanya aturan yang jelas, hukum di Indonesia dapat lebih konsisten dan memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai status hukum perkawinan dan norma yang diakui oleh negara. Namun demikian, pengaturan ini juga harus disertai dengan upaya untuk melindungi hak-hak lain dari individu, seperti hak atas privasi dan kebebasan berpendapat, untuk memastikan bahwa semua warga negara mendapatkan perlakuan yang adil dalam ranah hukum.
Oleh: Geofani Milthree Saragih
(Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sumatera Utara)