Aceh Tamiang - Jurnalisme. Online | Gerakan Aksi Rakyat Aceh Tamiang menyikapi keresahan masyarakat terhadap Lessing dari PT Federal International Finance (FIF) Group Aceh Tamiang yang telah melaporkan nasabahnya ke pihak kepolisian atas dasar keterlambatan atau macet membayar kredit dan laporan itu sering terjadi dan seakan merugikan masyarakat.
Polsek Karang Baru Aceh Tamiang mengeluarkan surat klarifikasi dan undangan wawancara/interview ke nasabah yang macet pembayaran.
Polisi mengeluarkan surat ke nasabah dengan nomor: B/59/IV/2024/Reskrim, yang berbunyi, klarifikasi biasa, lampiran satu lembar, perihal: undangan wawancara/interview ke atas nama salah satu nasabah.
Ketua Aliansi Gerakan Aksi Rakyat Aceh Tamiang (Garang) Chaidir Sapaan Akrab (Ai) mempertanyakan dasar apa hal tersebut sehingga pihak FIF melaporkan kepada pihak polisi dan kepolisian ikut serta dalam melakukan pemanggilan konsumen bahkan ikut langsung mendatangkan ke rumah konsumen, seakan akan menakut nakuti masyarakat.menurutnya ini adalah perbuatan yang bisa dibilang menakut-nakuti nasabah.
" Ini adalah perbuatan yang menakut-nakuti nasabah, sehingga saat surat tersebut sampai ke nasabah maka diduga adanya intervensi saat nasabah hadir ke kantor polisi Polsek Karang Baru, ditambah lagi bahkan ada pihak kepolisian yang datang langsung ke rumah Nasabah ". Tegasnya.
Ketua Garang menyampaikan bahwa Aceh adalah provinsi syariat Islam yang mempunyai Qanun Aceh no 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah di Aceh .
"Dugaan kami pihak FIF juga tidak menjalankan dan menghormati dari pada keistimewaan Aceh dalam bekerja urusan syariat Islam yang Selama ini telah melanggar keistimewaan Aceh dalam proses kredit pembiayaan Sepmor dengan proses denda tungakan dan proses jual beli Sepmor di Aceh" ujar ai.
Namun perlu juga kita ketahui, bahwa kredit kendaraan yang bermasalah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
UU tersebut menerangkan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Ditambahkan lagi oleh putusan MK Nomor 2/PUU- XIX/2021. MK juga menyatakan pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian apabila mengenai cedera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia.
" Mahkamah telah menegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri ," tutupnya.**(yudha)