Notification

×

Iklan

 


Iklan

 


Tag Terpopuler

"Sang Jawara" Mencari Jati Diri dalam Pusaran Perubahan.

Minggu, 09 Juli 2023 | Juli 09, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-07-09T09:44:50Z


BUTUH BANTUAN HUKUM?


 



Jurnalisme.online - Kota Bekasi. 


Tulisan ini hanya sebuah “keprihatinan dan keresahan” melihat perkembangan yang ada, karena merasa aye sebagai anak Betawi/Bekasi, bila ada yang salah dalam tulisan ini  mohon dimaafkan.


Saat ini di daerah Betawi dan Bekasi juga Depok (Jabodetabek)  tumbuh bak jamur berbagai kelompok, paguyuban, organisasi yang beridentitaskan “kejawaraan” serta  seni/tradisi budaya khas Betawi/Bekasi dengan tampilan performa yang ekspresif sekali  di tandai dengan baju pangsi, entah hitam, putih atau merah, nyoren golok plus cincin dan gelang Bahar dan berkembang  pula berbagai aliran tradisi silat, kelompok kelompok  seni tradisional  juga banyak muncul kelompok2 pemerhati kesejarahan.


Tampaknya ada semacam "kerinduan nostalgia primordial" terhadap masa lalu tanah/leluhur Betawi dan Bekasi hingga saat ini ada semacam effort dan semangat kuat  untuk memunculkan identitas kultur dan tradisi sebagai “jati dirinya”.  


Tidak ada yang salah dengan semua itu, bahkan itu suatu perkembangan yang positif dan perlu kita support sebagai suatu gerakan memunculkan identitas kultural yang mengembangkan tradisi, budaya dan kearifan lokal yang perlu diangkat kembali dan dikembangkan sedemikian rupa menjadi positif dan kontributif bagi perkembangan masyarakat bangsa dan negara.  


Hanya saja tidak boleh terjebak bahwa identitas dominan keBetawian/keBekasian adalah hanya itu.


Menurut sebagian pakar sejarah, sejak awal abad 19 di tanah Betawi/Bekasi pada zaman dulu mulai berkembang tradisi yang disebut Jawara/centeng. 


Tradisi ini muncul akibat banyaknya penentangan dan protes serta perlawanan rakyat (pemberontakan) terhadap tirani penguasa kolonial dan para tuan tanah. 


Demi mengamankan "kekuasaan dan asetnya" (stabilitas sosio politik dan ekonomi)  mereka menggunakan jasa para Jawara untuk menjadi bagian terdepan menghadapinya. 

Para Jawara ini adalah orang/kelompok tertentu yang memiliki kemampua bela diri silat (maen pukulan) serta memiliki ilmu kesaktian.


Dengan demikian dapat kita katakan bahwa tradisi Jawara itu pada awal perkembangannya adalah sebagai alat kepanjangan tangan penguasa kolonial, “centeng” (Hindia Belanda) dan tuan tanah (China/Belanda) untuk meredam masyarakat jajahan/penduduk.  


Para jawara ini sangat ditakuti dan disegani  karena  keahlian ilmu bela dirinya  bertugas langsung “berhadapan” dengan rakyat mengamankan “kepentingan” penguasa dan tuan tanah seperti mengawasi kerja rodi, menarik pajak yang mencekik, menteror (debt colector), merampas tanah dan lain lain. Pada tahap ini istilah jawara masih sangat negatif (preman bayaran,bandit, kecu, Blater, pecalang, dan lain lain dalam berbagai konteks daerah lain.


Jawara berasal dari kata Juwara (pemenang/Jago/champion) dan secara fonetis kerap diucapkan Juare. Juare adalah orang hebat dan tokoh yang teruji hebat (Jago) yang menjadi tokoh yang disegani sekaligus ditakuti.

Disela sela “kerja nyenteng”, pada  saat saat tertentu para jawara ini menghibur diri menari bersama cokek/ronggeng  (Cio-Kek/dialek Hokkian yg berarti penari perempuan) dengan turun ke gelanggang untuk “Ngibing” (menemani sang penari) dan nyawer (memberi uang kepada penari) diiringi musik gambang kromong (adaptasi musik China) dan di sela sela itu para Jawara biasa mengonsumsi tuak , madat (candu) dan judi menjadi pelengkapnya.


Pada perkembangan selanjutnya, tradisi kejawaraan ini mengalami sebuah pergeseran terutama seiring tumbuhnya perlawanan terhadap kediktatoran dan kelaliman para penguasa (Hinda Belanda) dan para tuan tanah yang makin mencekik hingga melahirkan kesadaran nasionalisme sebagian para Jawara dan kaum sarungan (ulama/santri) sebagai pribumi berhadapan dengan kelaliman para penguasa dan tuan tanah  hingga melahirkan "gerakan perlawanan" yang dimotori oleh para tokoh, ulama dan pada posisi inilah sebagian para jawara ikut berperan.


Maka lahirlah legenda legenda kepahlawanan ala Robin Hood seperti Pitung, Murtado, Entong Gendut, H Darip, Sabenih ,Entong tolo, H Rijan, Camat Nata, Pak Nacem dan lain lain di berbagai tempat yang ikut berjibaku berjuang membela bangsa dan menjaga ulama.


Demikian sekilas perjalananya seiring dengan waktu posisi para Jawara ini semakin positif terutama menjelang sat saat kemerdekaan dimana nasionalisme dan harga diri semakin menguat berhadapan dengan kekuasaan penjajah terutama bersinergi dengan penguatan identitas keagamaan (Islam).


Saat ini (zamanNow) kehidupan masyarakat Betawi/Bekasi dalam pergumulan dahsyat, terutama mengimbangi kompetisi hidup dan mobilitas perkembangan zaman yang sangat cepat berkembang. Harus ada kesiapan dari masyarakat Betawi/Bekasi untuk mampu survive menghadapi semua tantangan ini dan itu tidak cukup (Mohon difahami ini bukan sebuah generalisasi)  hanya sekedar menghidupkan tradisi budaya seperti Jawara, silat, lenong atau atribut identitas keBetawian/Bekasi lainya (pangsi, golok, cincin, gelang Bahar dll) tapi harus juga merambah bidang intelektual dan ekonomi.  Tantangan  paling utama saat ini adalah tantangan intelektual (keilmuan/skill) dan ekonomi. 


Mari kita lihat realita yang ada saat ini dimana  kompetisi hidup yang sangat dahsyat saat ini dalam berbagai bidang kehidupan, dimana dan bagaiman posisi anak anak pribumi Betawi/Bekasi? (Mohon sekali lagi difahami ini bukan sebuah generalisasi).


Satu hal yang mungkin banyak kurang menyadari bahwa Betawi dan Bekasi (termasuk  Depok) sejak sebermula adalah masyarakat dengan  komunitas heterogen (beragam)  yang bersifat kosmopolit (urban/perkotaan) dimana identitas etnisitas Betawi/bekasi adalah identitas campuran. Sejak awal terbentuknya, tanah betawi/Bekasi adalah sebuah melting pot (percampuran dari berbagai tradisi dan etnik) meskipun secara archaik kita bisa saja setuju dengan babeh Ridwan Saidi tentang Proto Betawi yang menjadi asal genetik manusia Betawi).


Karenanya salah satu keunikan tradisi budaya betawi adalah begitu beragamnya unsur pembenntuknya (Sunda,China, Melayu, Arab,Belanda, Portugis dan lain lain).


Dengan karakteristik yang kosmopolit/urban seperti  itulah harus disadari bahwa iklim paling utama dalam masyarakat type ini adalah “Kompetisi dan rivalitas”.  Saling bersaing untuk bertahan hidup. Siapa yang kalah tersingkir, yang menang jadi jagoan/Jawara (juara) akan bertahan.


Dengan filosofi dasar Jawara ini seharusnya memicu anak anak Betawi/Bekasi modern agar bisa menjadi *"Juara"* tapi tentunya bukan lagi dengan golok atau kekerasan tapi dengan kompetisi ilmu, keahlian, ekonomi dan prestasi lainya yang sesuai dengan zaman ini  dengan semangat

Itulah sejatinya Jawara.


Coba kita renungkan dengan mendalam, saat ini  Siapa yang memiliki posisi sebagai pejabat, pengusaha, penguasa ekonomi, tokoh besar, intelektual, kepemilikan lahan tinggal  dan lain lain dapat kita jadikan parameter untuk menjawab pertanyaan diatas.


Jangan terlena dan tenggelam dalam kerinduan memori masa lalu seolah menjadi semacam  eskavisme (pelarian) romantis  dari   kenyataan real saat ini dimana tanah yang kita pijak bukan lagi milik kita tapi milik para pengembang yang membuka cluster2 mewah, retailer seperti Matahari, Indomaret/Alfamart, invest para pejabat, tokoh anu, artis, pemilik kontrakan dan lain lain.


Jika ada adagium anak Betawi/Bekasi hidupnya “Ma’mur” (tinggal rumah dan sumur, itu saya pikir masih ‘mending”, karena faktanya saat ini banyak orang Betawi dan Bekasi sudah tak punya lagi rumah dan sumur, tapi...NGONTRAK, Ngontrak dan bayar tiap bulan  kepada pemilik kontrakan yang dulunya bisa saja tanah itu adalah tanahnya sendiri.  


Sekali lagi ingin saya katakan bahwa Tantangan  paling  utama saat ini adalah tantangan intelektual (keilmuan/skill) dan ekonomi. 

Mari kita jujur dalam kompetisi hidup saat ini dalam berbagai bidang kehidupan, dimana dan bagaiman posisi anak anak pribumi Betawi/Bekasi?


Nyo akh kita bangun kembali tradisi, budaya, kearifan lokal dan jatidiri  kita dengan lebih baik bukan sekedar kejawaraan aja atau simbolisme atraksi budaya apalagi kalo  cuman jadi korban kapitalisme hiburan di dunia media dan politik dimana yang paling diuntungkan bukan orang Betawi sendiri.

Nyo ah.


#GuruSyam's

#AkiSuwung

#Pente'r


Semmy roos / Wowo. 

×
Berita Terbaru Update