Jurnalisme.Online
- Munculnya kasus antraks di Gunungkidul yang kembali terulang hingga memakan korban jiwa menjadi perhatian banyak pihak.
Dosen Prodi Doktor Ilmu Peternakan UGM, Ir. Nanung Danar Dono, S.Pt., MP., Ph.D., IPM., ASEAN Eng. menjelaskan antraks adalah penyakit yang bersifat zoonosis akut (sangat menular dari hewan ke manusia) yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis.
"Penyakit antraks ada di Indonesia bermula di Teluk Betung, Lampung (th. 1884), Jawa Timur (th. 1885), Jawa Barat, Sulawesi Utara, NTT, NTB (th. 1975-1977), Yogyakarta dan Jawa Tengah (th.1988-1994), dan seterusnya," ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribun Jogja, Selasa (11/7/2023).
Nanung menyanggah penyakit antraks disebabkan oleh mutasi virus, seperti virus Covid-19.
"Tidak benar. Penyakit ini bukan disebabkan oleh Virus, namun oleh Bakteri gram positif berbentuk batang yang bisa menghasilkan spora. Penyakit antraks bisa disebabkan oleh bakteri secara langsung atau ketika sudah dalam bentuk spora," jelasnya.
Ia pun menegaskan bahwa kasus antraks di Gunungkidul bukanlah kasus baru.
"antraks ini kasus lama yang terulang. Artinya, kasus ini pernah terjadi beberapa kali di beberapa tempat yang berbeda di Gunungkidul dan terulang sekarang," urainya.
Catatan kasus antraks di Gunungkidul, yakni:
1. Dusun Grogol 4, Desa Bejiharjo, Kapanewonan Karangmojo (5/2019)
2. Dusun Ngrejek Wetan, Desa Gombang, Kapanewonan Ponjong (12/2019): 12 positif, 1 meninggal
3. Desa Hargomulyo, Kapanewonan Gedangsari (1/2021): 7 positif
4. Desa Gombang, Kapanewonan Ponjong (1/2022): 13 positif
5. Dusun Jati, Desa Candirejo, Kapanewonan Semanu (5/2023): 87 positif, 18 bergejala, 1 meninggal (73 th).
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Halal Center UGM ini mrngatakan bahwa tradisi mbrandu bukan penyebab antraks.
"Antraks disebabkan oleh aktifnya kembali spora antraks yang menetap di tanah atau tertempel di tanaman rumput dan rumput tersebut dikonsumsi ternak (dan sporanya ikut tertelan) dan aktif kembali sebagai bakteri hidup dan berkembang biak di tubuh ternak. Mbrandu bukan penyebab, namun pemicu munculnya wabah karena masyarakat mengkonsumsi daging hewan yang sakit atau mati karena bakteri antraks," terangnya.
Nanung menambahkan, di daerah pedesaan, ternak merupakan tabungan hidup sebagian warga masyarakat.
Ketika ada ternak yang sakit dan akhirnya mati, maka untuk meringankan beban warga yang ’kehilangan’ tabungan hidupnya, maka para tetangga iuran untuk mengganti atau membeli sapi mati tersebut.
"Tidak masalah jika kemudian bangkai hewan tersebut dimusnahkan dengan cara dikremasi. Namun, jika bangkai tersebut dikonsumsi warga, maka warga bisa tertular penyakit antraks ini," tegasnya.
Sumber:Tribunnews.Com